Jumat, 09 April 2010

REFLEKSI TERHADAP BUKU "ARAH BARU STUDI ULUMUL QURAN" Karya Dr. Akdin Wijaya

REFLEKSI
Apakah Jibril Penyampai Wahyu atau Hanya Sebagai Simbol?

Dalama buku Arah Baru Study Ulumul Al-Quran Dr. Aksin Wijaya, SH.MA menulis sebagai berikut, “Ayat-ayat yang membahas proses turunnya wahyu pada Muhammad khususnya memang tak satu pun yang secara eksplisit menyebut kata malaikat dan Jibril sebagai pembawa atau perantara…”1 kemudian dalam kelas beliau juga menyampaikan hal tersebut, kalau boleh penulis katakan bahwa dengan pernyataan tersebut belaiu mengeneralisir Jibril itu bukan penyampai wahyu kepada Muhammad, dan pada halaman yang lain belaiu mengatakan bahwa Jibril hanya sebagai simbolisasi untuk menandingi wacana perdukunan2.
Penulis menganggap bahwa pernyataan tersebut salah3, perlu penulis menyebutkan dalil yang terdapat dalam Al-Quran bahwa cara menyampaikan wahyu ada bebarapa cara, sebagaimana Alah berfirman, “Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat), lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”4. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsir, “Di dalam hadits yang shahih dinyatakan bahwa Rosulullah saw, berkata kepada Jabir bin ‘Abdillah ra, “Tidak ada seorang pun yang diajak bicara oleh Allah, kecuali dibalik tabir….”5 Hal ini dengan tegas Rosulullah mengatakan dibalik tabir, inilah salah satu cara menyampaikan wahyu.6 Dan cara yang lain adalah dengan mengutus (malaikat) sebagaimana wahyu pertama diturunkan. Dalam hadits Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ketika Rosulullah berada di gua Hiro beliau didatangi Malaikat Jibril seraya berkata, “Bacalah”. Rosulullah bersabda, maka aku katakana, “Aku tidak dapat membaca” lebih lanjut beliau bersabda, “Lalu Jibril memegangku seraya mendekapku sampai aku merasa kepayahan”7. Dalam hadits tersebut ceritakan bahwa nabi Muhamad saw didekap oleh malaikat Jibril dalam gua hiro dalam penyampaian wahyu pertama. Disana ada kata-kata didekap8 sehingga nampak jelas bahwa nabi sebagai objek yang didekap oleh malaikat Jibril sebagai subjek. Dan tentunya ini mematahkan pernyataan beliau bahwa malaikat Jibril dalam perantara wahyu dari Allah hanya sebagai simbol. Karena secara nalar tidak ada sebuah subjek yang berupa simbol dapat melakukan pekerjaan. Atau barang kali Dr. Aksin menggangap bahwa peristiwa pendekapan malaikat terhadap nabi Muhammad saw itu bukan makna “mendekap” yang sebenarnya. Wallau a’lam bisshowab.
Bahkan lebih tegas dalam riwayat Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ As-Shifat, dari An-Nawas bin Si’man ra, bawasanya Rosulullah bersabda, “……demikian sehingga Jibril menyampaikan wahyu tersebut sesuai yang diperintahkan Allah ‘Azza Wa Jalla kepadanya”9
Perlu penulis sampaikan bahwa pernyataan Dr. Aksin tetang malaikat Jibril sebagai symbol dalam penyampaian wahyu hanya merupakan sebuah asumsi yang tidak didasarkan pada bukti yang menyata atau dalil yang ada dalam Al-Quran atau didasarkan pada sebuah hadits. Sehingga penulis berani mengatakan bahwa pernyatan beliau diatas adalah salah. Kerena pernyataan penulis ini berdiri pada sebuah hujjah dalam Al-Quran dan Hadits. Banyak ayat menegaskan untuk mengikuti sunnah, atau membenarkan sebagaimana Firman Allah, “Dan apa yang telah Rosul berikan kepada kalian maka ambillah dan apa yang telah Rosul larang bagi kalian maka tinggalkanlah”.10dan Allah memperingati untuk tidak menyelisihi-nya, “Maka hendaknya waspada orang-orang yang meneyelisihi dari perintahnya akan menimpa mereka fitnah atau menimpa kepada mereka azab yang pedih”.11 Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang mempunyai makna sama dengan 2 ayat di atas. Sehingga katika ada pernyataan tetang suatu masalah dimana yang satu disandarkan pada nabi sedang pendapat yang lain berlawanan dan tidak disandarkan pada nabi bahkan hanya sebuah asumsi saja, maka kita wajib mengambil pendapat yang disandarkan pada nabi.
Bahkan kalau penulis lihat Dr. Aksin banyak mengutip pendapat orang-orang yang Liberal yang notate-nya sering menyerang Islam (penulis tidak menemukan diksi yang tepat kecuali itu atau “menyudutkan”) karena memang demikianlah faktanya, mereka mengutak-utik (merubah) dalil yang sebenarnya sudah jelas. Sebagaimana dikatakan oleh Adian Husaini, MA, “Mendapat jabatan yang bergengsi itu Rahman mulai agresif untuk menyerang hukum-hukum islam yang qath’i. Raham misalnya menentang dalil-dalil kebolehan piligami, hak cerai laki-laki, mendukung keluarga berencana (KB), dan menurutnya bunga Bank kecil halal, bunga bank berlipat ganda haram”12 Padahal para ulama telah sepakat atas kafirnya orang jatuh dalam jenis ini-kufur pengingkaran; kerena ia telah mendustakan firman Allah SAT dan sabda Rosulullah saw, menolak keduanya dan ijma’ umat yang bersifat qath’i13. Maka sangat disayangkan jika seorang muslim lebih berwala’ (secara pendapat atau fikrah) kepada orang-orang menyang Islam.
Dan pada akhir penjalasan akhir ini penulis menyimpulkan bahwa, Jibril adalah penyampai wahyu bukan hanya sebagai symbol saja. Dan memang ada kalanya Allah menyampaikan wahyu tidak melalui Jibril namun dibalik tabir, kemudian Rosul mendengar tanpa melihat Dzat Allah. Wallau a’lam bisshowab.






Nama : Robet Andoyo
NIM : 21409020
Ruang : CF
Dosen : Dr. Aksin Wijaya, SH, MA

Adab Ikhtilaf

Adab Ikhtilaf (Beda pendapat) Dalam Islam

Persoalan-persoalan khilaf yang diperselisihkan kalangan Imam-baik dalam masalah pokok maupun cabang-cabangnya- tak akan jelas mana yang hak, bila tak dikembalikan kepada Allah dan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan mereka yang berselisih itu semakin tak memiliki pegangan dalam persoalan mereka. Kalau mereka masih dinaungi rahmat Allah, sebagian mereka akan tetap mengakui sebagian yang lain. Sebagian mereka tak ada yang menjegal sebagian yang lain. Sebagaimana para Sahabat pada masa kekhalifahan Umar da Utsman juga berselisih dalam beberapa persoalan Ijtihadiyah.Sebagian mereka tetap mengakui sebagian yang lain. Tak ada yang saling menindas. Namun kalu Allah tidak merahmati mereka, niscaya mereka akan melakukan perselisihan yang tercela; yaitu sebagian mereka menjegal yang lainnya. Baik lewat perkataan, misalnya dengan memfasikkan atau menggafirkannya; atau lewat perbuatan, seperti memenjarakan, memukul atau-bahkan-membunuhnya. Orang-orang yang menimbulkan fitnah "Al Qur'an adalah makhluk",,termasuk golongan mereka. Mereka sendiri yang membuat kebid'ahan, tapi malah mengafirkan orang yang tak sependapat dengan mereka. Mereka menghalalkan diri untuk merampas hak dan menyiksanya.
Manusia, bila tak mampu memahami ajaran yang dibawa Rasul:bisa jadi berlaku adil, bisa jua berbuat zhalim. Ia berlaku adil, kalau ia beramal sebatas jejak-jejak (ajaran) para Nabi yang sampai kepada mereka dan tidak menzhalimi orang lain. Sedangkan orang yang zhalim, akan menindas orang lain. Mayoritas mereka berbuat zhalim dengan kesadaran bahwa mereka memang berbuat zhalim. Sebagaimana yang difirmankan Allah:
"Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka." (Ali Imran : 19)

Karena, kalau mereka berjalan sesuai dengan keadilan yang mereka tahu, mereka akan tetap saling mengakui yang lain. seperti halnya orang-orang yang masih bertaqlid kepada para Imam dari kalangan ulama.Dimana mereka menyadari bahwa diri mereka belum mampu mengetahui hukum Allah dan Rasul dalam persoalan-persoalan itu. Mereka menjadikan para Imam mereka sebagai orang yang mewakili Rasul. Mereka menyatakan: "Sampai di sinilah batas kemampuan kami", yang berlaku adil di kalangan mereka tak akan menzhalimi orang lain. Tidak akan mau menindasnya dengan perkataan ataupun perbuatan. Seperti dengan mengklaim bahwa Imam yang diikutinyalah yang benar, tanpa mengemukakan hujjah/ alasan, lalu mencela yang tak sependapat dengannya. Padahal ia (ulama yang tidak sependapat dengan imamnya) termaafkan.

Dua Macam Bentuk Ikhtilaf:
Sesungguhnya, bentuk ikhtilaf dan perselisihan itu pada asalnya ada dua macam: Ikhtilaf tanawwu' (keragaman) dan Ikhtilaf tadhaadh (bertentangan).

Ikhtilaf Tanawwu' Sendiri Ada Beberapa Bentuk:
Diantaranya: Dua pendapat (atau lebih) yang berbeda itu sama-sama benar dan disyari'atkan. Seperti halnya bacaan-bacaan yang diperselisihkan oleh para Sahabat ra. Sampai Nabi sendiri yang melerai dan bersabda: " Masing-masing kamu berdua berbuat baik/betul."

Seperti halnya juga perbedaan corak adzan, iqamat. doa Istiftah, tempat-tempat sujud sahwi dan yang semisal itu. Diman seluruhnya di syari'atkan, meskipun sebagian ragamnya lebih utama dari yang lain.

Diantaranya: Apabila salah satu dari pendapat itu sudah terkandung dalam pengertian pendapat yang lain. Akan tetapi pengungkapan masing-masingnya berbeda. Sebagaimana banyak manusia yang berbeda dalam mengungkapkan definisi, penyitiran dalil dan dalam mngungkapkan berbagai objek serta yang lainnya. Kemudian, sifat zhalim dan kebodohan _kerap_ menggiring orang untuk menyanjung salah satu pendapat dan mencela pendapat yang lain, bahkan menindas pemiliknya, dan lain sebagainya.

Pada ikhtilaf tanawwu', cela itu berlaku bagi mereka yang menjegal yang lainnya. Sementara Al Qur'an telah menunjukkan sanjungan bagi masing-masing mereka yang berselisih paham tersebut, kalau tak terjadi jegal menjegal. Sebagaimana firman-Nya:
"Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri diatas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah." (Al-Hasyr : 5)
Konon dahulu mereka berbeda pendapat dalam menebang pohon. Sebagian mereka menebang, sebagian lain tidak. Demikian halnya yang difirmankan Allah:
"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, diwaktu keduanya memberi keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami teelah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu..." (Al Anbiyaa' : 78-79)

Allah mengistimewakan Sulaiman dengan pemahamannya, sementara Dia menyanjung mereka berdua karena ilmu dan kebijaksanaannya. Sebagaimana juga pengakuan Nabi Shallallahu 'alihi wa Sallam di hari peperangan Bani Quraizhah terhadap orang yang shalat Ashar pada waktunya, dan juga terhadap orang yang menangguhkannya hingga sampai ke Bani Quraizhah (Dikeluarkan oleh Al Bukhari (946) dan Muslim (1770) dari hadits Ibnu Umar).

Adapun IKHTILAF TADHAADH, adalah dua pendapat yang saling bertentangan. Baik dalam perkara yang POKOK maupun CABANG-CABANGnya. Menurut pendapat mayoritas ulama, yang benar dari keduanya hanyalah satu. pembahasan persoalan ini lebih sulit karena kedua pendapat itu memang bertentangan. Tetapi seringkali kita dapati kalangan manusia, bila lawan bicaranya membawa PENDAPAT yang BATIL tapi mengandung sedikit kebenaran, atau memiliki dalil yang konteks penerapannya ada benarnya, ia lantas menghabisi kebatilan bersama kebenarannya sekaligus. Sehingga ia justru jadi membawa sebagian kebatilan. Sementara lawannya pada asalnya memang membawa kebatilan. Ini sering terjadi di kalangan Ahlussunnah. Adapuan AHLI BID'AH, hukum terhadapnya sudah jelas. Orang yang memperoleh petunjuk dan cahaya Allah, pasti bisa mengambil pelajaran dari hal-hal yang telah dilarang dalam Al-Kitab dan As-Sunnah seperti bid'ah itu dan sejenisnya.

Ikhtilaf yang kedua ini : Perselisihan dimana salah satu dari yang berselisih terpuji sementara pihak lainnya tercela. Sebagaimana difirmankan Allah: " Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah Rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kafir." (Al Baqarah : 253)
Demikian juga difirmankan : "" Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Rabb mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka." ( Al Hajj:19)

Umumnya perselisihan ditengah umat yang bermuara pada (memperturutkan) hawa nafsu pada asalnya termasuk macam ikhtilaf yang pertama (artinya seharusnya tidak membawa perpecahan). Demikian juga kadang membawa pada pertumpahan darah, merampas harta benda, menimbulkan kebencian dan permusuhan. Karena salah satu pihak tidak sudi mengakui kebenaran yang ada pada pihak lain. Tidak bersikap bijaksana. Bahkan kebenaran yang ada padanya justru dibumbui dengan kebatilan-kebatilan, demikian juga sebaliknya.

Sumber: TAHDZIB Syarh Ath Thahawiyah, Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi

Kamis, 08 April 2010

MENGHARGAI APA YANG KITA PUNYA

Tangat Menghargai Apa Yang Kita Punya
Penulis : Pitoyo Amrih
Rating Artikel :
Kamis, 23-Oktober-2008

Borobudur menyedihkan..begitu kata salah seorang kolega saya. Membuat saya berpikir dan merenung. Bukan karena bangunannya, bukan karena bentuk fisiknya, bukan karena perawatan bangunannya, tapi bagaimana pengelola di sana melayani para tamu-tamu pengunjung sebagai bentuk penghargaan terhadap aset Borobudur itu sendiri.

Kolega saya ini kebetulan seorang pengusaha, tinggal di Surabaya, tapi lebih banyak berada di kantornya di Jakarta. Sesekali datang ke Solo, mengunjungi perusahaan tempat saya bekerja karena kami adalah salah satu costumer-nya. Dan bila beliau datang, biasanya saya diminta untuk menemuinya. Kolega saya ini, dari kaca mata saya juga termasuk orang yang istimewa, caranya berbicara, bagaimana dia melihat suatu masalah dan gayanya yang selalu bersemangat, membuat saya melihat beliau ini mungkin lebih mirip seperti seorang motivator daripada seorang pengusaha.

Dan disela-sela pembicaraan kami, pagi itu, beberapa hari lalu, sampailah dia bercerita bahwa beberapa hari sebelumnya, dia duduk di pesawat bersebelahan dengan dengan seorang bule dalam penerbangan dari Yogya ke Surabaya. Omong punya omong, sampailah kemudian kolega saya ini bercerita, bagaimana sang bule itu kecewa atas kunjungannya ke Borobudur. “..Borobudurmenyedihkan!!”, begitu kata kolega saya menirukan sang bule.

Katanya, dengan ekspresi seperti seorang yang sangat kecewa dan marah, sang bule itu sampai mengkritik kolega saya itu (tentunya kritik itu juga tertuju pada kita semua bangsa Indonesia), bahwa Borobudur adalah sebuah keajaiban, Borobudur adalah sebuah aset berharga, tapi dia justru sangat menyayangkan kita bangsa Indonesia yang belum begitu paham arti untuk menghargai itu semua.

Menurut ceritanya, sang bule adalah orang Eropa, datang ke sini dengan sebuah ekpektasi besar tentang sebuah kespektakuleran Borobudur seperti yang dibacanya di sebuah situs. Tentunya dia juga berharap dalam menikmati dan mengagumi Borobudur, akan dilayani dengan baik oleh kita bangsa Indonesia, terutama pengelola Borobudur. Tapi apa yang dia dapat setelah sampai di Borobudur?Katanya sang bule bercerita tentang toilet yang jorok, tentang sampah dimana-mana, tentang tour-guide yang kurang menghargai karya Borobudur sendiri –katanya, sang tour-guide itu menjelaskan relief dengan cara memukul-mukulkan payung di gambar relief itu, justru dia (sang bule itu) yang sedih atas kondisi itu-, tentang bagaimana para penjaja dagangan menawarkan dagangan dengan cara memaksa-maksa. Ekspektasi besaritu langsung berubah kepada sebuah kekecewaaan besar.

Dari cerita komplain sang bule itu, kolega saya kemudian mengemukakan pendapatnya tentang bagaimana kita orang Indonesia kebanyakan ini, tipikalnya cenderung untuk kurang menghargai apa yang saat ini kita punya. Orang boleh berpikir untuk selalu maju, berpikir jauh ke depan, menyiapkan langkah-langkah untuk segalanya menjadi baik, tapi jangan lupa, bahwa itu semua dilakukan juga dengan cara selalu menghargai apa pun yang kita punya saat ini.

Kolega saya ini juga bercerita, bagaimana dia sebagai seorang pengusaha tetap berusaha selalu melayani semua costumer-nya tidak terkecuali. Costumer kecil, costumer besar semua diberi penghargaan dengan pelayanan yang sama, karena itu semua adalah yang dia punya saat ini.

Di akhir ceritanya yang bersemangat dan panjang lebar, dia kembali merasa sedih, ketika kita begitu gegap gempita mempromosikan agar orang datang dan berinvestasi ke negara kita, justru orang bule yang menyayangkan atas apa yang kita lakukan terhadap Borobudur. Bagaimana si bule itu lebih memiliki semangat untuk menghargai apa yang kita (bangsa Indonesia) punya.

Dan saya setuju dengan kolega saya ini

Mengangkat Imam diantara imam yang masbuk

Judul : Mengangkat Imam di antara makmum yang Masbuk
Kategori : Ibadah
Nama Pengirim : Lutfi Syarif Ahmad
Tanggal Kirim : 2007-08-01 12:36:20
Tanggal Dijawab : 2007-08-01 16:24:14
Pertanyaan Assalamualaikum wr. wb.

Ustadz saya masih bingung, dalam tanya jawab syariahonline pernah dinyatakan bahwa tidak ada dalilnya sesama masbuq sholat berjamaah. Akan tetapi saya pernah baca bahwa
Rasulullah pernah masbuq bersama shabat, lalu mereka menyelesaikannya/menyempurnakan kekurangan rakaatnya dengan cara berjamaah. Adapaun haditsnya sebagai berikut:

Dari al-Mughirah bin Syu'bah, ia berkata: “Rasulullah saw. ketinggalan rombongan demikian juga aku … kemudian beliau menaiki kendaraanya dan aku pun berkendaraan bersamanya. Maka kami sampai kepada kaum (rombongan itu),ternyata mereka sedang melaksanakn shalat dan Abdurrahman bin Auf yang mengimami mereka, mereka telah salat satu rakaat. Tatkala Abdurrahman bin Auf merasa bahwa Nabi dating, ia berusaha untuk mundur, tetapi Nabi berisyarat agar Abdurrahman bin Auf tetap pada tempatnya mengimami mereka. Tatkala Abdurrahman bin Auf (bersama jamaah) melakukan salam (selesai dari shalatnya), Nabi saw. berdiri dan aku pun berdiri, lalu kami berjamaah melaksanakan rakaat shalat yang ketinggalan” (HR Imam Muslim)

Mohon penjelasan dari ustadz. Terima kasih. Wassalamu'alaikum wr.wb.
Jawaban

wa'alaikumsalam wr.wb

segala puja dan syukur hanya kepada Allah Swt dan salawat salam untuk RasulNya dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. waba'du:

arti hadits yang disebutkan penanya, tidak kami anggap sebagai hadits yang menunjukkan tentang hukum shalat masbuq yang kemudian menjadi jama'ah dengan mengangkat salah satu menjadi imam, yang memang kebetulan yang masbuq adalah banyak. sehingga kami mengatakan tidak ada dalil secara pasti tentang hal itu.

Berikut adalah hadits yang dijadikan sandaran bahwa dalam shalat masbuq yang kebetulan jumlahnya banyak, boleh membuat formasi/menjadi shalat berjama’ah. Hadist ini terdapat dalam kitab shahih muslim, jilid dua bab ”al-mashu ’ala an-Nashiyah (mengusab rambut bagian atas ketika wudhlu’), begitu juga terdapat dalam bab ”taqdimu al-jama’ah man yushalli” (mendahulukan jama’ah bagi orang yang sudah shalat) dengan redaksi yang sedikit berbeda. Namun dalam hadits ini, sejauh pemahaman kami tidak ada redaksi yang menunjukkan secara pasti bahwa Rasulullah Saw dengan Muqhirah bin syu’bah shalat secara berjama’ah ketika menyempurnakan raka’at yang tertinggal. Berikut adalah haditsnya:

أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبُوكَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَتَبَرَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ الْغَائِطِ فَحَمَلْتُ مَعَهُ إِدَاوَةً قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيَّ أَخَذْتُ أُهَرِيقُ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ وَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يُخْرِجُ جُبَّتَهُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمَّا جُبَّتِهِ فَأَدْخَلَ يَدَيْهِ فِي الْجُبَّةِ حَتَّى أَخْرَجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ تَوَضَّأَ عَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ أَقْبَلَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَأَقْبَلْتُ مَعَهُ حَتَّى نَجِدُ النَّاسَ قَدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لَهُمْ فَأَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مَعَ النَّاسِ الرَّكْعَةَ الْآخِرَةَ فَلَمَّا سَلَّمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُتِمُّ صَلَاتَهُ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ الْمُسْلِمِينَ فَأَكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ أَحْسَنْتُمْ أَوْ قَالَ قَدْ أَصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أَنْ صَلَّوْا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا
Artinya: bahwasannya Muqhirah bin Syu’bah menceritakan, bahwa dia berperang bersama Rasulullah Saw diperang Tabuk. Mughirah berkata; Rasulullah hendak membuang hajat, kemudia mencari tempat yang tertutup, maka aku bawakan satu ember air sebelum shalat subuh, ketika beliau kembali, aku tuangkan air dari ember itu ketangannya, beliau membasuh tiga kali, kemudian membasuh wajahnya, kemudian menyingsingkan jubahnya untuk mengeluarkan lengannya, akan tetapi lengan jubah itu sempet, maka Rasulullah memasukan tangannya kedalam jubahnya dan mengeluarkannya dari bawah jubah, maka beliau membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya, kemudian beliau berwudlu di atas khuf (maksudnya tidak membasuh kaki, tapi beliau cukup mengusap bagian atas khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit), kemudian beliau bergegas (menyusul rombongan), Mughirah berkata: akupun bergegas bersama beliau, maka kami mendapati romobongan (para sahabat) sedang shalat shalat, dan Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam mereka, dan sudah masuk rakaat terakhir. Maka ketika Abdurrahman bin Auf salam dan selesai shalat, Rasulullah menyempurnakan shalatnya, maka hal itu membuat kaum muslimin keheranan (Rasulullah menjadi ma’mum), merekapun memperbanyak tasbih, maka ketika Rasulullah selesai shalat, beliau menghadap kepada para sahabat dan berkata: ahsantum (kalian telah berbuat benar), Mughirah berkata: atau beliau waktu itu mengatakan: kalian benar, dimana mengajak manusia untuk shalat tepat pada waktunya.

Dari hadits di atas tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa Rasulullah menyempurnakan shalat yang ketinggalan bersama mughirah dengan jama’ah.

Dalam riwayat lain dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun pada kasus yang sama:
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلَاةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا
Artinya: Dari muqhirah bin syu’bah dari ayahnya dia berkata: Rasulullah tertinggal (dari rombongan pasukan) dan aku tertinggal bersama beliau, ketika beliau selesai dari hajatnya, beliau bertanya apakah kamu ada air? Maka aku bawakan ember (tempat bersuci), kemudian membasuh kedua telapak tanganya, wajahnya dan menyingkap lengannya, namun lengan jubahnya terlalu sempit, maka beliau mengeluarkan tangannya dari bahwa jubah, dan meletakkan jubahnya di atas bahunya, kemudian beliau membasuh kedua lengannya dan mengusap ubun-ubunnya, dan bagian atas surbannya serta kedua khufnya (semacam kaos kaki dari kulit), kemudian beliau naik (kendaraan) dan akupun naik, ketika kami sampai pada rombongan kaum (para sahabat), mereka sedang shalat yang diimami oleh Abdurrahman bin Auf, dan sudah selesai satu rakaat, ketika (Abdurrahman bin Auf) menyadari kedatangan Rasulullah, dia mundur, maka Rasulullah memberi isyarat kepadanya, maka (Abdurrahman bin Auf) meneruskan tetap mengimami shalat mereka, maka ketika Abdurrahman bin Auf salam (selesai shalat), Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan) rakaat yang tertinggal.

Itulah nash hadits secara lengkap, yang bisa dibaca bersama bahwa dalam hadits tersebut tidak ada penggalan satu lafadzpun yang mengatakan Rasulullah bersama Mughirah berjama’ah ketika menyempurnakan rakaat yang tertinggal.

Mungkin lafadz “ركعنا / kami ruku’ (menyempurnakan rakaat yang tertinggal)”, itu yang difahami bahwa Rasulullah Saw dalam menyempurnakan rakaat yang tertinggal dilakukan dengan berjama’ah bersama Mughirah. Sehingga dalam terjemahannya diterjemahkan berjama’ah. Padahal itu adalah keterangan Mughirah tentang Rasulullah menyempurnakan rakaat yang tertinggal, dan begitu juga keterangan tentang dirinya sendiri (Mughirah). Sekali lagi tidak ada dalam hadits tersebut lafadz yang menunjukkan kami lakukan dengan berjama’ah. Hal itu dikuatkan dengan hadits yang sebelumnya, dimana Mughirah hanya menerangkan bahwa Rasulullah kemudian menyempurnakan shalatnya, tanpa menerangkan dirinya sendiri, sehingga tidak menggunakan lafadz ”kami”.

Selain itu bahwa hadits ini diletakkan dalam bab masalah bagaimana wudlu’ Rasulullah Saw. artinya hukum yang diambil dari hadits ini adalah lebih kepada tentang teknis bagaimana wudhlu Rasulullah dan juga shalat pada waktunya. Bukan masalah shalat masbuq yang kemudian membentuk formasi atau menjadi jama’ah.

Jika ditinjau dari segi hukum fikih, bahwa orang masbuq mempunyai setatus (nilai) jama’ah dengan jama’ah yang utama yang telah selesai itu, jadi tidak perlu lagi membuat jama’ah baru bersama-sama dengan sesama masbuq. Wallahu a’lam.

wassalam
diambil dari
(http://syariahonline.com/kajian.php?lihat=detil&kajian_id=28698)

Pengikut

firdausrho Copyright © 2009
Scrapbook Mania theme designed by Simply WP and Free Bingo
Converted by Blogger Template Template